sebut saja ia penyampai pesan.
seorang lelaki. mapan dan tampan, dengan tinggi badan nyari dua kali lipat dari yang aku punya. dan kulit yang lebih lebih mulus dari aku miliki.
ah aku yakin, jika saja kau bertemu dengannya.. kau akan terpesona.
"boleh aku menitip sesuatu dari kota itu?", tanyaku hati-hati tanpa menggunakan hati kala itu. aku tak apa jika tertolak.
awalnya ia menolak permintaanku seraya berseloroh. dan aku menangkapnya dengan keseriusanku. namun aku butuh benda itu, melebihi kebutuhanku akan kehadirannya. hingga aku mengulang kembali tanyaku dimalam berikutnya. dan ia menyetujuinya.
"ah aku tahu, ini hanya alibimu agar bertemu denganku, bukan?" tanyanya entah dalam canda atau tidak.
"ya, kau menebaknya dengan tepat" , ujarku dengan cepat.
hingga hari dimana seharusnya aku menerima pesan yang aku titipkan padanya, aku tak kunjung jua bersua. dipagi yang sudah tak buta, ia memanggilku dipenyeranta. kami bersepakat untuk bertemu pada pukul yang sudah ditentukan. aku pun sudah menyampaikan beberapa jadwal yang tak dapat aku ubah. demi paksaan apa pun, aku belajar untuk melakukan yang sudah aku janjikan.
sang penyampai pesan adalah lelaki yang pernah menginjakkan bumi yang sama denganku. ia pun merupakan salah satu penghuni labirinku. kami pernah bertemu sepuluh tahun lalu. dan akhirnya saling kenal satu tahun yang lalu. hidup itu menyimpan banyak misteri dan jebakan, aku tak ingin lagi bermain-main dengan hidup.
pagi itu. aku sudah duduk manis disebuah warung kopi dekat dengan ruang kedatangan. peron terlalu ramai untuk mengosongkan hati dan pikiranku. sayup-sayup aku mendengar canda teman yang menitipkan pesan.
aku bosan mempertaruhkan hati, ujarku pada teman sekampung beda halaman itu.
sang penyampai pesan telah membuatku menunggu. aku menunggu pesan yang memang aku pesan. bukan menunggu ia yang aku titipkan.
peron semakin ramai. penyeranta tak kunjung ramai. penyerantaku masih tergelok sepi dan kopiku mulai dingin.
satu setengah jam aku menunggu dan itu sudah cukup bagiku. aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi dan menawar apa pun dari dirimu dah hidupmu.
"sudah dimana?", tanyaku datar menutupi emosi yang menyingkirkan kesabaranku.
"masih ditempat yang aku katakan dipesan tadi."
"belum beranjak juga?"
"aku kan sudah memintamu untuk turut denganku ke rumahnya.."
"aku kan sudah memintamu untuk turut denganku ke rumahnya.."
aku terdiam
aku segera menutup pembicaraanku dengannya. menolak semua ajakannya. menolak semua tawarannya. mimpi buruk masih melekat dipikiranku. berkali-kali aku mengatakan 'maaf' padanya. dan berkali-kali pula ia bertanya untuk apa..
aku pulang.
setelah aku menerima titipan pesan, aku akan hilang.