"ah.. seperti aku baru mengenalmu kemarin sore saja", ujarnya kala itu.
waktu. ya kau dan aku mulai membicarakan waktu. mulai memasuki lorong waktu dan mengendap-endap memasuki masa dimana kau dan aku mulai saling mengenal.
tujuh tahun.
wow.. aku baru saja mulai menghitungnya. cukup lama dan entah mengapa aku merasa tak mengenalmu.
kepada masa lalu yang bagaikan sebuah debu, datang dan pergi bicara tentang waktu
aku tak pernah mencarimu, kau yang datang padaku
aku tak ingin bersamamu, kau yang selalu menyapaku
aku seperti tak mengenalmu
"mari kita bertemu", ujarku diantara helaan nafas yang mulai tak beraturan
"untuk apa?", kau selalu memberi tanya padaku
"entahlah, aku hanya ingin bertemu", lebih tepatnya aku tak punya bahan yang akan ku olah agar dialog ini tak selalu kaku.
tujuh tahun dikota yang sama, aku mulai memutar kembali slide demi slide tentangmu. pun tentang wanitamu. hey.. semangat merayakan lima tahun bersama wanitamu.
aku tak dapat mengingat tentangmu dengan sempurna, namun aku masih mengingat dimana dinginnya malam semakin membuatku membeku ketika kita mulai larut dalam bercakapan dan bergumul dengan kepulan asap tembakau.
"sampai kapan kita seperti ini?", tanyamu seraya membentuk lingkaran asap dari bibirmu yang mulai menghitam dimakan zaman.
"sampai kapan? sampai salah satu dari kita ada yang melambaikan tangannya.. pertanda menyerah", tantangku kala itu
"siapa takut? kali ini tak ada yang di izinkan menggunakan hati!"
"tanpa hati dan dilarang memaki!", tekanku kala itu seraya mengecupnya.
kepada masa lalu yang sempat membuatku nelangsa
kita pernah saling bercinta walau tak mencinta
kita saling bertukar cerita tapi bukan untuk bersama
kita bukan apa-apa
"kenapa baru muncul sekarang?", tanyamu ketika aku menghilang dimakan ilalang.
"karena ceritaku baru saja usai dengannya. dan kau? ada cerita apa?"
"tak ada, mari kita lanjutkan saja cerita kita", tawarmu dengan wajah datarmu itu.
"kau yakin?", tanyaku yang kau balas hanya dengan senyuman.
kita berjalan memutar arah dan melawan arus. kau dan aku yang sama-sama tak ingin menjadi kita.
"aku rasa kita harus berakhir disini", pemutusan sebuah kesepakatan secara sepihak.
"kau menyerah. baiklah."
"aku iba pada wanitaku. kau datang ketika aku sudah bersamanya. maaf." kau berkata seraya berkemas. dan aku tak melihat ada rasa bersalah dari sana.
"aku tahu itu sedari awal aku datang padamu kala itu.", disini.. dititik kita mulai saling menyakiti.
"tahu? bagaimana kau bisa tahu?"
"kau bodoh. kau tak pintar menyembunyikan aku, dia menemukanku."
"lalu.. kau bilang kita apa?"
"cih.. tak usah seperti kebakaran jenggot seperti itu. aku bilang, aku temanmu. aku tahu rasanya direbut..", yaa aku mulai bergetar.
"dia tidak merebutku, kau yang meninggalkanku!"
"ya sudahlah.. apa pun katamu. kau sudah melambaikan tangan pertanda menyerah, bukan?"
"aku bukan menyerah, aku hanya iba padanya"
"tenang saja, aku takkan menuntutmu agar terus bersamamu. kau terbukti tak setia. iba bukanlah bentuk dari kesetiaan." entah mengapa aku tak merasa kehilangan kala itu.
dan sore itu kau kembali menyapaku. dan kau masih bersama dengan wanita itu. selamat belajar menjadi setia, teman (n_n)
kau masih menyimpan ceritaku tentang hal yang remeh temeh, dan aku? aku sama sekali tak lagi menyimpan apa tentangmu. aku hanya menyimpan sebuah cerita tentang seorang teman yang akhirnya berubah menjadi lawan. dan itu dirimu.
kau dan aku yang tak mungkin menjadi kita.
kau dan aku yang pernah menganggap ini sebagai cinta
kau dan aku hanyalah sebuah cerita
sampai jumpa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar